Salahkah Kita Memilih Setia (Novanto)?

Salahkah Kita Memilih Setia (Novanto)?

Kisah Setya Novanto yang mangkir dari panggilan KPK berikut insiden tiang listrik yang berujung benjol di bagian kepala ibarat salah satu episode dalam sinteron-sinetron Indonesia. Bukan saja karena akhir tiap episode yang selalu mengikat penonton dengan rasa penasaran akan babak selanjutnya tapi juga karena kisah-kisahnya yang banyak menabrak akal sehat manusia.

Dan masih ibarat sinetron, kasus Setya Novanto adalah sinetron yang punya rating tinggi. Selain karena posisinya sebagai ketua DPR RI, kasus yang membelitnya pun tergolong spektakuler. Berdasarkan rilisan komisi anti rasuah, kasus e-KTP yang melibatkan Novanto ditaksir merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun. Rp 2,3 triliun bukan jumlah yang kecil. Menurut Peneliti Transparency International Indonesia, Agus Sarwono, uang sebanyak itu bisa membantu 4 juta lebih ibu melahirkan dengan asumsi biaya melahirkan di daerah Rp 600 ribu per orang, atau bisa membangun sebanyak 25 ribu rumah bantuan bagi masyarakat dengan asumsi nilai per rumah Rp 92 juta, atau bisa juga membangun 167 bangunan sekolah dengan nilai per sekolah Rp 15 miliar.

Kasus yang menimpa wakil rakyat kita yang terhormat ini lalu mengetuk nurani kita, terutama para pemilih dari daerah pemilihan Timor, Sumba, Sabu, dan Rote, yang menjadi wilayah di mana Novanto bertarung untuk duduk di Senayan. Maka kita patut bertanya, Salahkah kita memilih Setia (Novanto)? Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita perlu melihat kembali beberapa poin yang membuat posisi kita menjadi lebih jelas.

Novanto dan Risiko Demokrasi

Dalam bukunya, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, khususnya bagian Politik dan Demokrasi, Ignas Kleden mengulas berbagai persoalan politik di tanah air. Salah satunya adalah bagaimana sistem politik demokrasi dijalankan di Indonesia. Demokrasi adalah sistem politik yang pada awal kemunculannya pada masa Yunani Antik kira-kira 5 abad sebelum Masehi telah menimbulkan banyak keraguan. Salah satunya datang dari filsuf Sokrates. Menurutnya, demokrasi harus dicegah karena sistem ini memberi kemungkinan bahwa suatu negara akan diperintah oleh orang-orang yang dungu, yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya. Karena Sokrates tahu, rakyat tidak selalu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, tetapi lebih kepada orang-orang yang mereka sukai. Celakanya, orang-orang yang disukai dan dipilih oleh rakyat bukanlah selalu orang-orang yang kompeten untuk membela nasib mereka. (Ignas Kelden, Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan, hal 3).

Persoalan Novanto dan e-KTP yang ibarat sinetron itu adalah salah satu bukti dari apa yang ditakutkan oleh Sokrates 2000 lebih tahun yang lalu itu dengan variasi yang kita alami sekarang. Bukan saja bahwa demokrasi memberi kesempatan kepada orang dungu untuk berkuasa tetapi juga kepada orang-orang rakus yang mengelabui rakyat dengan berbagai “jajan” yang sifatnya sementara.

Terhadap persoalan semacam ini, dalam demokrasi diperlukan suatu kombinasi ideal (modus vivendi) dari tiga komponen kualifikasi yang diharapkan dapat mendorong dan mengembangkan demokrasi yang sehat. Tiga komponen itu, dalam bahasa Ignas Kleden, adalah: 1) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang kita namakan saja kompetensi, 2) jumlah orang-orang memilih seseorang untuk mewakili mereka, yang kita namakan konstituensi, dan 3) kesadaran seorang politikus tentang nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar karena kalau dilanggar maka dia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri. hal terakhir ini dinamakan integritas.

Apa yang kita alami dalam kasus Setya Novanto, dan juga kasus-kasus korupsi para pejabat negara lain yang sangat besar jumlahnya, menunjukkan masih ada yang kurang dalam realisasi dari tiga komponen yang diharapkan ada dalam diri seorang politisi. Perilaku korupsi jelas membuktikan bahwa para politisi kita masih lemah dalam hal integritas.

Ketiadaan integritas, menurut Ignas Kleden, akan membawa dua kemungkinan. Salah satunya adalah kecenderungan untuk mengubah tawar menawar politik yang merupakan tukar-menukar argumentasi menjadi tawar menawar dagang dengan memakai uang sebagai sarananya. Karena itu, tidak heran jika para wakil rakyat kemudian mengatur strategi untuk memperoleh keuntungan dari berbagai kebijakan dan program yang mereka telurkan. Bagi-bagi uang dalam kasus e-KTP adalah salah satu contohnya.

Autocorrect Demokrasi

Masih menurut Ignas Kleden, mengutip Amartya Sen, demokrasi sangat dibutuhkan karena demokrasi merupakan suatu sistem yang dapat menekan kekurangan dan kejelekannya sendiri sampai minimal. Sebagai sistem politik, demokrasi tidak dapat diklaim sebagai the best, tetapi dapat pasti dibenarkan sebagai the least bad.

Karena dalam sistem demokrasi tersedia tiga fungsi, yakni fungsi intrinsik, instrumental, dan konstruktif. Fungsi intrinsik berarti demokrasi memperkaya kehidupan seorang individu karena memberinya lebih banyak kebebasan dan menjamin bahwa kebebasan yang diberikan kepadanya dapat dinikmati tanpa terlalu terhalang. Fungsi instrumental tak lain adalah karena demokrasi merupakan sarana bagi suatu pemerintah mendapatkan dukungan dan pembenaran dari rakyatnya. Sedangkan fungsi konstruktif adalah keadaan yang mendorong lahirnya proses yang lebih terbuka dalam masyarakat untuk mengadakan dialog, diskusi, pertukaran pikiran, perdebatan, kompetisi, negosiasi dan bentuk-bentuk interaksi sosial-politik lainnya.

Terkait dengan pentingnya demokrasi ini, Amartya Sen terkenal dengan pernyataannya bahwa kelaparan tidak disebabkan oleh karena kekurangan makanan tetapi karena kekurangan demokrasi. Karena dalam masyarakat yang tidak demokratis pemerintah tidak dipaksa untuk memberi perhatian kepada gejala kelaparan sekalipun dalam negara tersebut tersedia bahan makanan yang lebih dari cukup, sehingga tidak ada kemauan politik untuk membawa makanan ke tempat lain di dalam negara yang sama yang sedang menderita kelaparan.

Persoalan yang kita hadapi sekarang bukanlah kekurangan demokrasi melainkan karena demokrasi tidak dijalankan secara ideal sesuai dengan tiga komponen yang telah disebut di depan, yakni kompetensi, konstituensi, dan integritas. Karena itu, dapatlah kita mengatakan sekarang bahwa demokrasi telah menjadi sebab kemiskinan dan ketimpangan sosial yang berlebihan karena kita memilih orang-orang yang rakus sebagai wakil kita di DPR atau lembaga eksekutif.

Meski demikian, demokrasi jugalah yang akhirnya memberi kita pilihan, apakah kita mau terus miskin dan menderita dengan masih mau memilih para wakil kita yang koruptif (tak berintegritas), yang tak mempunyai kompetensi untuk mengontrol program dan kebijakan pemerintah dan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang bermanfaat bagi rakyat banyak, atau kita tak ingin terjebak dalam lubang yang sama dengan lebih selektif memilih para wakil rakyat berdasarkan tiga kriteria di atas.


Singkatnya: Apakah kita masih bersetia pada dia yang jelas-jelas tidak setia kepada rakyat dan kepada hukum?

You Might Also Like

0 komentar