Malam yang Terpenggal di Oevetnai
(Cerita satu)
Gadis kecil itu menggenggam kuat tangan kiriku ketika kami berjalan menuju rumah tempat kami menyimpan tas-tas kecil yang kami bawa. Bulan sedang berusaha membelah gumpalan awan di langit timur. Sunyi mengepung seluruh dusun Oevetnai. Bahkan juga ke seluruh hati kami.
“Kami
juga ke kantor polisi kah?” Suara gadis kecil bernama Alwindri itu memecah
sunyi. Aku tersentak. “Tidak, adik. Kakak-kakak saja. Adik mereka tetap di
sini,” aku berusaha menjawab apa adanya. Jika harus kujelaskan, ia toh belum
bisa mengerti apa-apa. Usianya baru 7 tahun, baru kelas 2 SD. Sementara
beberapa orang tua dan muda yang duduk-duduk dalam lopo memandang kami dengan
tatapan kosong.
Di
bawah siraman cahaya bulan yang telah keluar dari cengkeraman awan, kami
menyusuri jalan berbatu. Suara-suara sapi yang diikat di sekitar jalanan itu membelah
sunyi. Bibir kami terkatup. Lidahku
keluh, tak tahu harus mengatakan apa kepada Alwindri yang telah menanti malam
bersama kami, rombongan yang hendak berbagi kasih dengan mereka.
Maka
aku berusaha bersuara, memberi dia pemahaman. “Besok pagi kakak-kakak akan ke
sini lagi. Kita akan bermain bersama.” Ia tak menjawab, hanya tangannya yang
semakin erat menggenggam tanganku, seolah menolak melepaskan kami.
Malam
yang seharusnya menjadi malam bersama dengan bocah-bocah Oevetnai itu harus berlalu
dalam sunyi karena alasan keamanan. “Daerah ini adalah daerah perbatasan. Kami
tidak bisa menjamin keamanan saudara-saudara kalau menginap di sini,” kata
salah seorang bapak yang bukan merupakan warga dusun setempat. “Pernah ada
pembunuhan masal di daerah ini,” seorang rekannya menambahkan, berusaha
menciutkan nyali kami.
Padahal,
dalam rencana, malam itu, 11 Maret 2017, harusnya kami menginap di Oevetnai.
Berbagi cerita dengan bocah-bocah yang sekolahnya ditutup oleh pemerintah
daerah setempat dengan alasan “tidak layak”. Memberikan motivasi bahwa karena sekolah
ditutup (untuk sementara), kalian harus tetap pergi ke sekolah “titipan”.
Jangan menyerah pada keadaan. Kalian harus menerjang jalanan berbatu sepanjang
hampir 2 kilometer menuju sekolah titipan itu demi cita-cita dan mimpi kalian.
Bila perlu, orang tua harus secara bergiliran mengantar dan menjemput
anak-anak. Begitulah tekad kami.
Namun,
rupanya niat baik kami itu dilihat dengan cara yang berbeda. Ada kesan
kedatangan kami hanya memperuncing masalah. Kami dikira menghasut masyarakat
setempat untuk melawan pemerintah. Pemimpin rombongan mencoba memberi
pengertian bahwa tak ada tindakan adu domba atau sejenisnya yang akan kami
lakukan. Ini hanya semata-mata kegiatan berbagi kasih dan cerita dengan
anak-anak Oevetnai. Karena kebetulan kami juga membawa beberapa bungkusan
berisi buku bacaan, alat tulis, dan hadiah-hadiah kecil yang dikumpulkan
melalui informasi yang disebarkan di media sosial. Namun, mereka tetap pada
pendirian. Malah pernyataan kepala desa setempat lebih keras. “Bila saudara-saudara
bersikeras bermalam di sini, kami terpaksa harus mengusir saudara-saudara untuk
pulang Kupang malam ini juga.”
Kami
tak dapat berbuat apa-apa. Pemimpin rombongan kami mencoba meminta kelunakan agar
kami boleh kembali ke dusun ini besok pagi untuk memberikan beberapa kado kecil
yang telah kami bawa tersebut. Kepala desa dan beberapa orang yang kemungkinan
besar berafiliasi dengan pemerintah menyetujui.
Kami
terpaksa bersiap mengambil tas yang kami bawa untuk diangkut ke kantor polisis.
Alwindri dan beberapa temannya yang sudah bersiap di halaman sekolah terlihat
bingung. Dalam perjalanan ke rumah tempat kami menaruh tas-tas itu, pertanyaan
Alwindri mengocok perasaanku.
Dalam
hati aku meratap membayangkan kekecewaan bocah-bocah yang sudah menanti dengan
kegembiraan yang begitu besar. Bayangan lagu-lagu kebangsaan yang mereka
lantunkan dengan penuh semangat semakin mengiris-iris perasaanku. Sebesar inikah
ketakutan pemerintah sampai-sampai misi kemanusiaanpun dilihat sebagai tindakan
memecah belah. Sebesar inikah ketakutan pemerintah sampai-sampai sebuah malam
yang seharusnya dipenuhi dengan kegembiraan dan harapan bersama anak-anak
Oevetnai pun harus dipenggal begitu saja.
Ketika
kami sudah harus berangkat ke kantor polisi, Alwindri masih tak mau melepaskan
genggamannya. Aku duduk agar bisa memandangi wajahnya. Matanya berkaca-kaca. “Besok
pagi kakak akan datang lagi. Kamu dan teman-teman juga harus pulang kembali ke rumah
masing-masing untuk tidur karena kita akan bertemu besok pagi.” Ia tak menjawab
apa-apa. Kemudian ia melepas tanganku. Aku mengelus-elus rambutnya disaksikan
bulan yang semakin meninggi. Beberapa bintang mulai tampak di langit yang biru.
Semoga bintang-bintang itu tetap menjaga mimpi-mimpi mereka untuk masa depan
yang lebih baik.…..

0 komentar