Catatan Sepakbola: Lorong Waktu Juanfran
Kedudukan
1-1 setelah 120 menit memaksa pertandingan final Liga Champion 2016 antara Real
Madrid dan Atletico Madrid di Stadion San Siro, Milan, berlanjut ke adu
tendangan pinalti. Drama pertandingan bergengsi ini tersisa kurang dari 10
menit lagi. Namun, di sinilah puncak ketegangan itu.
Setelah Sergio Ramos berhasil menaklukan Jan Oblak, kedudukan berubah menjadi 4-3 untuk keunggulan Real Madrid. Namun, skor itu belum aman karena algojo keempat Atletico Madrid belum mengambil tendangan. Suasana di stadion San Siro, Milan semakin tegang. Dari sorotan kamera, seorang bocah perempuan yang mengenakan jersey putih Real Madrid tampak gelisah. Kedua tangan dikatup di di wajahnya. Jari-jari mungilnya mengenai air mata yang menetes dari kelopak matanya. Para pendukung Atletico pun tampak tegang. Seorang gadis fans Atletico Madrid tampak mengelak dari ciuman pacarnya. Rupanya ia berusaha berkonsentrasi.
Bek Atletico Madrid, Juanfran, sebagai penendang keempat maju ke depan gawang yang di bawah mistarnya sudah berdiri kiper Real Madrid, Keylor Navas. Sunyi merayap di antara ribuan supporter kedua tim. Yang ada hanya gemuruh debur jantung para penonton. Para madridista mengharapkan tendangan itu tidak menghasilkan gol, sedangkan para fans Atletico berdoa agar Juanfran bisa menyarangkan bola ke dalam gawang yang dikawal penjaga gawang asal Kosta Rika tersebut, sehingga skor bisa kembali sama, 4-4.
Setelah meletakan bola di titik dua belas pas, Juanfran mundur beberapa langkah. Ketika wasit Mark Cletenburg meniup peluit, Juanfran maju dan menendang bola dengan kaki kanan bagian dalam.
Bola itu melaju menyusuri rumput ke samping kiri Keylor Navas. Dalam sepersekian detik, bola tendangan itu mengenai tiang dan memantul kembali.
Bola yang memantul tiang gawang itu gagal menyamakan skor. Itu artinya, Real Madrid dalam posisi yang diuntungkan. Satu tendangan lagi, dan gol, maka mimpi untuk meraih Undecima (gelar kesebelas) segera menjadi kenyataan. Sementara mimpi Ateltico untuk merasakan gelar liga Champion untuk pertama kalinya harus gagal lagi.
Dalam sekejap, suasana San Siro berubah total. Para madridista melompat sambil berteriak kegirangan. Sementara fans Atletico hanya bisa melenguh, kaget, diam, dan tak percaya.
Kini takdir Atletico ditentukan bukan oleh diri mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh penendang kelima Real Madrid.
Kebetulan, yang mengambil tendangan kelima Real Madrid adalah Christiano Ronaldo. Mengingat reputasi kebintangan Ronaldo, para Madridista boleh mengharap lebih,sementara fans Atletico hanya mampu berharap agar Ronaldo gagal sehingga membuka peluang mereka meraih si kuping besar.
Dan benar seperti yang sudah diharapkan para Madridista. Satu sepakan kaki kanan Ronaldo berhasil menggenapi mimpi real merengkuh Undecima. Bersamaan dengan itu, mimpi Atletico akhirnya harus menguap begitu saja (setidaknya untuk tahun ini). Bola yang diarahkan ke sisi kiri gawang atletico itu tak kuasa dibendung Jan Oblak karena yang bersangkutan malah melompat ke arah sebaliknya.
Itulah akhir dari drama selama hampir 130 menit yang menguras tenaga dan emosi para pemain dan fans masing-masing tim. Ternyata gelar kesebelas Liga Champions Real Madrid hanya berjarak satu tendangan yang membentur tiang dari seorang bek kanan yang selama 120 menit tampil sangat baik.
***
Setelah bola tendangannya memantul tiang, Juanfran terlihat kecewa. Ia berjalan kembali ke barisan pemain Atletico dengan wajah suram. Ia masih bisa berharap, tetapi ia tahu, harapan itu ibarat sebuah titik kecil. Maka (saya membayangkan) di dalam kepalanya ia bermain-main dengan sebuah kata: Seandainya.
”Seandainya saya mengarahkan bola itu sedikit lebih ke dalam.” Atau, “Seandainya saya mengarahkannya ke tengah.” Atau kalau itu terlalu beresiko, “Seandainya saya mengarahkannya ke sebelah kiri tanpa terlalu melebar (karena Navas sudah bergerak ke arah lainnya).” Seandainya begini, seandainya begitu. Sampai ia mengangkat muka dan merasakan suasana yang begitu mencekam.
Tentang “seandainya” ini, saya lalu teringat Film About Time.
Seandainya Juanfran adalah Tim (Domhnall
Gleeson), tokoh yang bisa menjelajahi waktu dalam film
tersebut, saya membayangkan, setelah tendangan Ronaldo, Juanfran akan berlari
ke ruang ganti, masuk ke dalam salah satu lemari, menutup mata sambil mengepal
tangan lalu dengan konsentrasi penuh kembali kepada saat dimana gilirannya
mengambil tendangan 12 pas.
Dan seperti dalam film tersebut, ia akan menendang ke arah kiri Keylor Navas, dengan menempatkan bola tidak terlalu ke pinggir sehingga bola itu bersarang dalam gawang (Navas sendiri akan melompat ke arah kanan). Setelah itu, ia akan membisikan kepada Jan Oblak untuk melompat ke arah kiri sehingga bisa menepis tendangan Ronaldo.
Dengan begitu, sejarah dibalikan. Para fans atletico melompat dan berteriak kegirangan, sedangkan para madridista akan menunduk, menangis, dan kembali dengan kekecewaan yang mendalam karena harus melewati musim ini dengan tak meraih satu gelarpun.
Meski mengisahkan tentang tokoh Tim yang bisa menjelajahi waktu, Film About the Time bukan sebuah kisah science-fiksi yang sarat akan visi dan teori tentang waktu. Karena itu, dasar ilmiahnya mungkin dapat ditemukan dalam lembar-lembar kerja para fisikawan dari Einstein sampai Hawking.
Waktu, seperti kata Einstein, adalah abstraksi gerak (peristiwa). Karena itu, waktu adalah relatif. Konsepsi kita tentang waktu tergantung pada suatu sistem acuan. Dan karena itu, waktu bisa berbeda bagi masing-masing kita bila kita bergerak dengan kecepatan yang berbeda atau bila kita berada di suatu sistem yang berbeda massa dan kecepatan gerakannya. Perbedaan itu hanya dapat terlihat jika kita membuat perbandingan, karena bagi masing-masing pihak, segalanya seperti adanya.
Teori Relativitas Einstein memungkinkan kita menjelajahi waktu, termasuk kembali ke masa lalu. Ketika dimensi waktu ditambahkan ke dalam 3 dimensi ruang yang telah kita kenal, ruang dan waktu bukan lagi sebuah garis linier melainkan seperti sebuah kertas/kain yang mempunyai kemungkinan untuk dilengkungkan (dilasi). Dengan demikian, jika ada dua peristiwa yang terpisah oleh jarak dalam kertas/kain tersebut, maka jarak terpendek antara dua peristiwa itu bukan lagi sebuah garis lurus melainkan sebuah lorong waktu (wormhole), jalan pintas menembus ruang waktu, karena kita mendekatkan kedua titik tersebut dengan melipat kertas/kain.
Teori ini mendapat penjelasan secara matematis. Namun, ada paradoks yang muncul di sana. Ingat paradoks kakek atau paradox ibu. Jika kita mampu kembali ke masa lalu dan membunuh kakek kita, maka kita tidak akan lahir. Dan bila kita tidak lahir maka kita tidak bisa membunuh kakek kita.
Fenomena ini memunculkan argumen baru tentang semesta paralel (multiverse). Di sana dikatakan, kembalinya kita ke masa lalu, dan merubah sejarah berarti kita masuk ke semesta yang lain. Sejarah di dunia ini tetap sama. Yang kita ubah adalah sejarah di dunia lain. Itu artinya, kita kemungkian mempunyai duplikat di dunia yang lain dari waktu yang berbeda.
Bila kita menghubungkan ini dengan kejadian di awal tulisan ini, Juanfran mungkin bisa kembali dan merubah jalannya final Liga Champion 2016 di San Siro melalui lorong waktu (wormhole). Dengan mengubah hasil partai final tersebut, para fans Atletico merayakan dengan sungguh-sungguh gelar Liga Champion pertama mereka. Namun, sejarah itu ada di dunia yang lain (dunia paralel).
Di sini, (dunia kita ini), Juanfran tak dapat menarik kembali tendangannya. Juanfran bukan Tim yang bisa menjelajahi waktu dan mengubah jalannya sejarah. Bola hasil tendangannya yang membentur tiang gawang tersebut pada akhirnya memberikan kepada Real Madrid gelar ke sebelas sekaligus menegaskan keperkasaannya di kancah sepakbola Eropa sebagai King of Europe.




0 komentar