Kartini dan Mimpi Pendidikan


Pada tanggal 2 Mei 1964 Presiden Sokearno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, sebagai Hari Kartini.

Kita tahu bahwa tanggal 2 Mei adalah peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dan kebetulan penetapan Hari Kartini pada 21 April ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964. Dari kedua hari besar Nasional tersebut, kita dapat menarik benang merah antara Kartini dan perjuangannya dalam memperoleh pendidikan. Yang dapat langsung terlihat di dalam surat-surat korepondensinya dengan beberapa tokoh, yang kebanyakan warga negara Belanda, seperti Stella Zeehandelar, Mr Abendanon dan istrinya, Ir Van Kol dan istrinya, adalah sebuah impian akan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama antara pria dan wanita.

Bagaimanapun juga, bagi Kartini, hanya melalui pendidikan yang layak seorang bisa mencapai tingkat inteletualitas yang baik, mempunyai akhlak mulia dan dengannya mampu mengusahakan suatu hidup yang bermartabat sebagai manusia. Karena itu, dalam salah satu suratnya kepada Zeehandeler tertanggal 12 Januari 1900, ia menulis:
“Pemerintah tiada akan menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran.”

Menurut Citra Mustikawati, berdasarkan studinya tentang surat-surat Kartini, ada dua hal yang kira-kira menjadi inti perhatian Kartini dalam surat-suratnya, yakni mengusahakan kehidupan yang bebas dan mandiri dalam dua aspek yakni bebas mengenyam pendidikan di bangku sekolah dan penolakannya terhadap pernikahan poligami. Pernyataan sikap Kartini melalui surat-suratnya ini bertolak dari situasi kehidupannya dimana pada saat itu, anak perempuan dianggap tidak patut memperoleh pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Kartini sendiri, setelah menyelesaikan bangku sekolah dasarnya sampai usia 12 tahun terpaksa dipingit atau dalam istilahnya “masuk kotak” untuk menyiapkan diri menjadi seorang istri. Padahal saudara-saudaranya yang laki-laki beroleh kesempatan menempuh pendidikan lanjutan, bahkan sampai ke negeri Belanda.

Kartini, Surat-Suratnya, dan Kita
Raden Ajeng Kartini hidup di masa sebelum kemerdekaan (1879-1904) pada masa penjajahan kolonial Belanda, ketika kebebasan (terutama dalam memperoleh pendidikan) dibatasi. Hak-hak masyarakat, terutama masyarakat kecil ditekan dengan sangat kuat sehingga meskipun berada di tengah alam yang kaya melimpah, mereka hidup dalam kesengsaraan. Tidak hanya karena penjajah Belanda, sistem adat (Jawa) juga sebenarnya mengekang kebebasan itu, termasuk kebebasan bagi para wanita untuk memperoleh pendidikan dan menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Karena itu, dalam hati kecilnya, yang dapat kita baca melalui surat-suratnya, Kartini punya keinginan yang sangat besar untuk mengusahakan kesamaan akses kepada pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Kemajuan suatu peradaban akan tercapai jika ada kesetaraan dalam memperoleh pendidikan oleh pria dan wanita. Menurutnya, tanpa wanita yang terdidik, kita tidak akan sampai pada kemajuan peradaban. Dengan sangat indah ia menulis, “… Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban.”

Bila pendidikan semacam ini bisa terlaksana maka Kartini yakin bahwa masyarakat Indonesia akan mampu membawa bangsanya searah perkembangan jiwa, kecerdasan pikiran, serta kemakmuran dan kesejahteraan sebagimana yang dapat kita lihat dalam suratnya pada bulan Januari 1903 yang berbunyi: “…memberi kesempatan kepada anak bangsa Jawa, laki-laki dan perempuan untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan bangsanya ke arah perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran, serta kemakmuran dan kesejahteraan.”
Ada nada optimisme dalam surat Kartini di atas bahwasannya kesempatan memperoleh pendidikan kepada laki-laki dan perempuan akan membawa bangsa Indonesia kepada perkembangan jiwa, intelektual yang pada akhirnya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Setelah Indonesia merdeka, mimpi Kartini akan pendidikan yang setara lalu menjadi kenyataan. Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan agar bisa memperoleh perkembangan jiwa, intelektual dan beroleh kesejahteraan serta memberi andil bagi kemajuan peradaban bangsa. Lalu dengan lebih mantap tujuan pendidikan itu dijabarkan secara nasional dengan rumusan: mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Namun apa yang kita peroleh dari kesetaraan pendidikan seperti yang dicita-citakan Kartini di atas masih menjadi problem besar bangsa ini. Perkembangan jiwa (akhlak), yang akhir-akhir ini lebih sering didengungankan dengan istilah integritas, kemampuan intelektual, serta kemakmuran dan kesejahteraan belum sepenuhnya menjadi milik kita.

Kasus korupsi yang demikian marak dan dijalankan dengan tanpa malu-malu oleh para pejabat yang notabene adalah orang berpendidikan mengindikasikan bahwa ada yang perlu segera dibenahi dalam proses pendidikan kita yakni perkembangan jiwa (akhlak/integritas). Lemahnya persaingan kita di tingkat global dalam berbagai segi kehidupan adalah ukuran bagaimana tingkat intelektualitas sebagai bagian dari proses pendidikan belum maksimal. 

Di lain pihak, banyaknya pengangguran para sarjana yang bermuara pada rendahnya tingkat kesejahteraan menyiratkan adanya praktek-praktek KKN dalam berbagai bidang kehidupan sehingga iklim kompetisi yang sehat tidak berjalan baik. Untuk menduduki posisi-posisi dalam suatu bidang, kemampuan intelektual kadang tidak menjadi ukuran. Yang dipakai justru kedekatan antara pimpinan dan para calon rekrutmen. Pola-pola ini sudah demikian berakarnya sehingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan pesimisme dalam diri generasi muda kita. Asalkan mempunyai kedekatan dengan kutub kekuasaan, seseorang bisa demikian mudah masuk ke dalamnya dengan mengabaikan faktor-faktor seperti kemampuan intelektual, keterampilan, dan mungkin juga integritas.

Mengembalikan Hakikat Pendidikan
Di tengah kompleksitas masalah bangsa yang tengah kita hadapi, spirit pendidikan seperti yang dicita-citakan Kartini perlu dihembuskan kembali secara lebih kencang. Merayakan Hari Kartini dan Hari Pendiikan Nasional yang kebetulan berdekatan karena itu mesti disertai kesadaran bahwa sudah terlalu jauh kita diseret oleh pragmatisme hidup serta kepentingan diri sendiri, kelompok dan golongan. 

Karena itu, pada hari besar tersebut, sudah seharusnya kita kembali menilik nilai-nilai luhur pendidikan seperti yang diimpikan oleh pahlawan nasional kita itu. Karena kalau tidak, perayaan Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional hanya sekedar rutinitas tahunan tanpa makna. Setiap warga negara Indonesia mungkin sangat familiar dengan nama Kartini dan Ki Hajar Dewantara, namun mungkin hanya sedikit yang memahami apa yang diperjuangkan kedua pahlawan tersebut.

Impian Kartini agar pendidikan bisa dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia sudah terjawab. Namun nilai pendidikan yang menyertainya belum sepenuhnya terwujud. Akhlak (integritas), intelektualitas, dan kesejahteraan serta kemakmuran belum menjadi bagian integral dari pendidikan dan kehidupan kita. Karena itu, peringatan Hari Kartini dan Hari Pendidikan Nasional ini harus mengembalikan kita pada nilai-nilai luhur pendidikan bahwasannya pendidikan itu membawa manusia Indonesia menuju keluhuran budi, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan demi mewujudkan bangsa Indonesia yang maju dan beradab. Setiap pemangku kepentingan harus melihat dengan lebih jernih problem pendidikan kita dan mampu mengikhtiarkan satu tekad yang bebas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan agar pendidikan kita mampu melahirkan generasi yang cerdas, berkarakter dan mampu bersaing serta menyumbangkan pikirannya demi kemajuan dan kemaslahatan bangsa Indonesia.






You Might Also Like

0 komentar