Tujuh Bidadari yang Terluka
*Sekedar saja setelah
membaca buku Kisah 7 Bidadari
Cerita
tentang cinta merupakan kisah tua yang selalu menemukan bentuknya sendiri-sendiri.
Sejak zaman Adam, yang konon kata Kitab Suci menjadi manusia pertama, bersama
pasangannya Hawa (Eva), berlanjut ke tragedi Romeo dan Juliet, hingga kisah
cinta Jessica Wongso dan Patrick, yang diklaim oleh ayah Mirna sebagai biang
motif kasus Kopi Sianida yang menyita perhatian dan emosi kita hampir sepanjang
tahun ini, cinta selalu menjelma dalam kisah yang unik, seunik sidik jari
manusia itu sendiri. Hampir tak pernah ada kisah cinta yang sama persis antara
masing-masing orang. Karena keunikan itulah, setiap orang patut mengenang kisahnya
masing-masing. Ada yang lalu menuliskannya sebagai sebuah bentuk penyubliman
untuk kemudian diturunkan sebagai hujan yang membasahi jiwa pembacanya.
Karena
itu, membaca kisah-kisah cinta seolah membawa kita keluar dari atap rumah kita
masing-masing dan menikmati hujan. Dari gerimis pagi atau senja yang kadang
menciptakan pelangi, sampai badai yang merubuhkan rumah dan pepohonan. Perasaan
indah, melancholic, nostalgia, hingga sedih, tak jarang memenuhi relung hati
ketika menjumpai ragam kisah cinta yang kita baca. Semuanya seolah menyentuh
inti kesadaran terdalam kita. Di sana, kita lalu menemukan hati kita
masing-masing. Hati yang penuh dengan goresan-goresan puisi atau bahkan tragedi
yang penuh air mata.
Keinginan
untuk menyublim kisah cinta itulah yang, saya kira, kemudian melahirkan Kisah 7
Bidadari. Sebuah buku sejenis kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh tujuh
orang wanita sesuai salah satu episode dalam perjalanan cinta mereka
masing-masing. Benang merah yang kemudian menjahit Kisah 7 Bidadari ini adalah tokoh
laki-laki yang kepada mereka cinta para bidadari tertambat. Para lelaki itu
adalah kaum ‘berjubah’ yang dengan kesadaran menyerahkan diri mereka menjadi
imam (hidup selibat).
Bagi
ketujuh bidadari ini, cinta mereka kepada ‘kaum berjubah’ ini bukan merupakan
sebuah kesalahan. Dan memang demikian. Tak pernah ada yang salah dengan cinta.
Ia tumbuh sebagai bagian dari hakikat kemanusiaan kita yang dianugerahi hati
dan budi. Yang membuat cinta itu ‘kelihatan’ salah adalah batasan-batasan yang
dibuat oleh manusia sendiri, termasuk di dalamnya aturan hidup selibat (tidak
kawin) seperti yang harus dijalani oleh kaum berjubah. Ungkapan cinta di luar
batasan (boundaries) itu, bagi ketujuh bidadari ini, adalah dosa.
Berdamai dengan masa lalu
Siapa
yang dapat membunuh kenangan? Apalagi kenangan yang menghujam jauh ke dalam
hati. Begitulah inti kisah pertama dalam buku Kisah 7 Bidadari ini. Ditulis
dengan emosi yang meledak-ledak disertai beberapa metafora agak vulgar, kisah
ini serupa sebilah pedang yang menerabas ke balik tembok-tembok biara dan
menguji kesadaran iman para pengikut Kristus. Meskipun sudah disampaikan di
bagian prolog bahwa buku ini tidak bermaksud menyerang dan membuka aib orang
lain, namun bagi orang beriman, sepintas lalu, kisah ini seperti badai yang menerpa
saat-saat menjelang tidur malam. Beberapa kata dengan lugas mengungkapkan bahwa
cinta yang terjalin antara pasangan dari ‘dunia yang berbeda’ ini telah
terlempar keluar dari batas-batasnya.
Meskipun
menusuk di awal, namun kisah ini mencapai puncak dengan sebuah kesadaran yang
bijak. Bahwasannya, hantu kenangan itu tak akan pernah bisa dibunuh.
Satu-satunya cara untuk keluar dari bayang-bayang gelap itu adalah berdamai
dengannya. Dan itu diwujudkan melalui sebuah pengakuan, sesuai judul kisah
tersebut.
Kegetiran
cinta serupa dapat ditemui kembali dalam kisah yang berjudul Cerita Cinta
Pertama. Namun kali ini, kegetiran itu tidak muncul karena penerobosan
batas-batas oleh si bidadari dan sang frater pujaannya, tetapi karena
pengkhianatan terhadap dukungan (cinta) yang telah diberikan oleh bidadari
kepada sang frater. Ketika bidadari bersetia menutup pintu hatinya sekian tahun
sesuai permintaan sang frater sampai sang frater menjadi imam, sang frater dengan
mudahnya menanggalkan jubahnya untuk seorang gadis yang tak lain adalah sahabat
karib si Bidadari. Pada akhirnya, si Bidadari dengan tegar mengumpulkan kembali
keping-keping hatinya dan sampai pada kesimpulan, cinta memang tak selamanya harus
memiliki.
Selain
kegetiran dua kisah di atas, kisah-kisah lain cenderung berada dalam satu warna
tersendiri yakni kerelaan para bidadari melepaskan (dan mendukung) cinta mereka
pada para frater yang telah memilih jalan cinta mereka sendiri. Meskipun sakit,
namun mereka dengan kuat menjalaninya. Karena cinta memang butuh pengorbanan. Pengorbanan
cinta itu sangat mengharu biru dalam kisah terakhir yang berjudul Pengorbanan
Untuk Cinta. Cinta teragung adalah ketika seorang berani menyerahkan nyawanya
untuk orang yang dicintainya, seperti yang telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus
sendiri. Dan itulah yang ditunjukkan oleh tokoh Maria Gendis Anjani untuk cinta
sejatinya Romo Tyo.
Kekuatan kata-kata
Mengapa
jatuh cinta pada para frater? Salah satu jawaban yang bisa dikemukakan di sini
berdasarkan salah satu kisah yang diberi judul Ge adalah karena perhatian yang
diberikan oleh para frater. Perhatian itu dinyatakan dalam untaian kata-kata romantis,
puisi, dsb yang kadang menjadi candu. Di sinilah letak kekuatan kata-kata. Ia
mampu membuat seorang (bidadari) melayang, mau salto, jungkir balik sambil
pukul-pukul tembok. Dan bidadari mana yang tidak merasa indah ketika dikirim puisi
seperti ini: Ia sematkan dalam-dalam/
sedalam perasaanya/ ke jaket putih yang saya sandarkan ke lemari kecil/ penuh
kotoran laron/ tetapi kekasih/ Kemarin adalah surga kecil maut/ yang tinggal di
alas kaki kita/ Love De. Atau sebuah pesan singkat yang berbunyi: Selamat
Natal, Biji mata kesayangan Allah.
Kata-kata
itu akhirnya meluluhlantahkan pertahanan seorang bidadari yang berniat menutup
hatinya rapat-rapat setelah pengalaman cinta pertama, yang sepertinya akan
menjadi cinta terakhir, tetapi berakhir tragis. Kata-kata memang mempunyai
kekuatanyang luar biasa. Ia mampu menjembatani jarak Semarang-Flores, tempat
kedua insan ini berada.
Kekuatan
kata-kata bahkan sudah tertulis dalam Alkitab. Di sana dikatakan bahwa Tuhan
mencipta bumi dan segala isinya dengan kata-kata (sabda). Atau menurut Yesus, Manusia
tidak hidup dari roti saja, tapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah. Dengan kata-kata juga, Soekarno mampu menghipnotis para pendengar dalam
setiap pidatonya. Atau malah beberapa bait puisi yang ditulis Wiji Tukul
menjadi kekuatan agitasi yang mampu menggerakan massa melawan rezim otoriter.
Luka yang indah
Kisah
7 Bidadari telah membuka cakrawala baru bagi perjalanan iman orang Katolik. Ada
kisah-kisah tersembunyi yang akhirnya dibawa keluar untuk dilihat dan disikapi
secara bijak. Karena Kisah 7 Bidadari ini sebenarnya adalah kisah cinta kaum
berjubah yang selama ini lebih banyak
disimpan dalam relung hati mereka masing-masing. Karena itu, buku ini menambah
daftar literatur yang bisa menjadi rujukan kita dalam menangkap fenomena yang
berkaitan dengan kehidupan para biarawan.
Kisah
cinta itu telah membawa mereka pada kedewasaan diri menjalani hidup mereka
masing-masing. Karena itu, satu kesimpulan yang bisa diambil dari kumpulan
kisah ini adalah bahwa luka para bidadari ini adalah luka yang indah. Luka yang
mendorong mereka mencapai kualitas hidup yang lebih baik dengan cinta yang
lebih besar lagi sesuai akhir dari masing-masing kisah yang tersaji dalam buku
ini.(*)


2 komentar
Kk Beta boleh share ko
ReplyDeleteIya
Delete