PK, Ahok, dan Salah Sambung yang Berbahaya
Atas
rekomendasi seorang teman, saya kembali menonton film India, setelah hampir
belasan tahun absen. PK judulnya. Film itu diperankan oleh Amir Khan.
Secara garis besar, film itu menggambarkan tentang seorang asing (dari luar bumi) yang diterjunkan ke bumi untuk melihat kondisi di dunia kita ini. Konflik segera muncul di awal film ketika si orang asing, yang kemudian dipanggil dengan nama peekay (PK) atau (pe)mabuk dalam bahasa Indonesia, kehilangan kalung yang juga berperan sebagai alat komunikasi untuk memanggil pesawat ruang angkasanya. Maka dimulailah pencarian alat komunikasi tersebut. Pencarian alat komunikasinya itu memperhadapkan dia dengan realitas dunia yang sama sekali baru baginya.
Secara garis besar, film itu menggambarkan tentang seorang asing (dari luar bumi) yang diterjunkan ke bumi untuk melihat kondisi di dunia kita ini. Konflik segera muncul di awal film ketika si orang asing, yang kemudian dipanggil dengan nama peekay (PK) atau (pe)mabuk dalam bahasa Indonesia, kehilangan kalung yang juga berperan sebagai alat komunikasi untuk memanggil pesawat ruang angkasanya. Maka dimulailah pencarian alat komunikasi tersebut. Pencarian alat komunikasinya itu memperhadapkan dia dengan realitas dunia yang sama sekali baru baginya.
Ia
mulai belajar segala sesuatu dan memahami segala sesuatu melalui cara pandang
yang sangat polos. Dengan kepolosannya, ia beranggapan bahwa agama-agama bisa
membantu dia menemukan kembali alat komunikasi tersebut. Bagaimana dia
berhadapan dengan berbagai agama yang ada di India diberikan porsi yang cukup
besar dalam film ini, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan terhadap
agama-agama yang mempraktekan berbagai kebiasaan dan tata cara ibadatnya. Ia mempertanyakan hal-hal yang selama ini kita
anggap biasa saja, atau pertanyaan seorang anak kecil berhadapan dengan apa
yang ada di luar pemahamannya.
Film
ini menjadi menarik bukan karena tokoh PK nya yang membawa misi tentang harapan
akan nafas kehidupan di luar angkasa, tapi karena ia terdampar ke bumi dan mempertanyakan
berbagai hal dalam kepolosan seorang anak dan mengajak kita berpikir ulang
tentang relasi kita dengan Tuhan melalui agama-agama yang kita anut.
Yang
menarik adalah bahwa alat komunikasinya yang dicuri itu ternyata dijual kepada
salah satu tokoh agama Hindu (Tapasswi) yang lantas membuat orang tersebut
berhasil meraih ketenaran berkat manipulasi ceritanya tentang bagaimana ia
mendapatkan barang tersebut dan bagaimana barang tersebut bisa menjadi semacam
jimat yang bisa membawa penyelesaian atas persoalan yang dihadapi oleh para
pengikutnya.
Dalam
salah satu adegan, ditampilkan proses interaksi antara Tapasswi dan pengikutnya.
Tapasswi mempersilahkan para pemeluk agama untuk menyampaikan persoalannya, dan
kemudian dijawab oleh Tapasswi, dengan terlebih dahulu (berpura-pura) mendengarkan
bisikan Tuhan. Inilah yang kemudian dikritik oleh si PK dengan memperkenalkan
istilah salah sambung. Ia sendiri dalam sebuah acara di TV yang menjadi tempat
kerja Jaggu (tokoh kedua dalam film tersebut yang menjadi sahabatnya), mengajukan
argumen bahwa ada dua Tuhan di dunia. Yang satu adalah yang menciptakan manusia
dan segala semesta, sedangkan yang lain lagi adalah yang diciptakan manusia
untuk memenuhi ambisi pribadi atau kelompoknya. Karena itu, komunikasi dengan
Tuhan yang kita ciptakan sendiri itu menjadi sebuah miskomunikasi (salah
sambung) yang bisa membahayakan hidup bersama yang memuja Tuhan yang satu
tetapi dengan jalan yang berlainan.
Adu
argumen itu kemudian berakhir dengan munculnya bukti bahwa kisah cinta Jaggu dengan kekasihnya Sarfaraz yang berasal dari Pakistan dan beragama Islam,
adalah sebuah kesalahpahaman (miskomunikasi). Fatalnya, miskomunikasi itu
seolah mempertegas jawaban dari sang tokoh agama tersebut yang kepadanya
diminta nasihat oleh ayah sang gadis tentang bagaimana ia memandang kisah cinta
kedua insan tersebut. Maka dengan pembuktian itu, si PK berhasil mengalahkan
Tapasswi dan mendapatkan kalungnya kembali dan akhirnya bisa pulang ke tanah
airnya.
Apa
yang ditampilkan oleh film yang rilis pada tahun 2014 ini adalah sebuah kritik
atas bagaimana kita terkotak-kotak dalam agama dan cenderung memandang orang di
luar kotak sebagai pihak yang salah (tidak baik). Maka sebenarnya kita sedang
berada dalam situasi salah sambung (wrong number) atau miskomunikasi karena
menciptakan Tuhan versi kita sendiri dan membenarkan tindakan kita sendiri
dengan alasan membela Tuhan. PK sendiri bertanya: Apakah kita harus membela
Tuhan (atau apakah Tuhan harus dibela)?
Terhadap
penilaian ini, ada beberapa contoh yang bisa dikemukakan. Pertama-tama,
radikalisme yang semakin menguat baik secara global maupun nasional adalah
sebentuk miskomunikasi antara kita dan Tuhan. Miskomunikasi itu terjadi karena
ada kesalahan peran yang dimainkan oleh elit-elit agama yang menamakan diri
wakil Tuhan atau paling kurang penafsir sabda Tuhan kepada manusia. Entah
karena kurang pengetahuan atau kurang iman, atau malah ingin memenuhi nafsu dan
ambisi pribadi, agama, oleh mereka ini, dijadikan bisnis untuk meraup
keuntungan, baik dari sisi ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Umat
pemeluk agamapun akhirnya jatuh pada gerakan yang melihat orang lain di luar
agama atau kelompoknya sebagai orang yang sesat yang harus diperangi (dimusnahkan).
Kedua,
mungkin saja agama-agama terlalu berdiam dalam zona nyaman dan enggan melihat
keadaan para pemeluknya, terutama persoalan-persoalan yang mereka alami entah
itu persoalan ekonomi, relasi sosila, dsb. Apa yang diberikan kepada
penganutnya semata-mata utopia. Mimpi akan surga yang indah, penuh susu, madu
dan bidadari-bidadari cantik. Sementara mereka lupa memberikan kotbah-kotbah
yang menyinggung situasi umat yang harus berhadapan dengan berbagai persoalan
hidup yang semakin kompleks.
Maka
yang muncul kemudian adalah penafsiran yang sepihak oleh para pemeluk agama
itu. Penafsiran sepihak itu bukan tidak mungkin menjadi pembenaran atas
tindakan radikal yang mereka pilih. Di sini, miskomunikasi itu terjadi lagi.
Dan risiko yang timbul atasnya sungguh menjadi tragedi kemanusiaan. Sebut saja
peperangan di Irak dan Suriah yang tak kunjung usai yang mengakibatkan ribuan
nyawa melayang dan ratusan ribu lain yang harus lari mencari suaka ke
negara-negara lain.
Dalam
konteks yang lebih kecil, penyebutan ayat 51 Al Maidah oleh Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) telah memantik reaksi yang beragam dari berbagai pihak. Kaum
Muslim, meski tidak seluruhnya, menilai ucapan Ahok itu adalah bentuk penistaan
agama. Buntutnya, Ahok ditetapkan jadi tersangka dan sedang menjalani
persidangan.
Kata
nista dalam KBBI daring dijelaskan sebagai 1) hina; rendah, 2) tidak enak
didengar, 3) aib; cela; noda. Sedangkan penistaan diterangkan sebagai proses,
cara, perbuatan menistakan. Dengan memakai definisi di atas, apakah kita dapat
menjatuhkan vonis bahwa Ahok menista agama. Tentunya, kasus ini akan dinilai
oleh para hakim dengan mendengar tuntutan jaksa dan pembelaan dari pengacara
Ahok. Beberapa pertanyaan dapat diajukan di sini untuk memperjelas duduk
persoalannya. Pertama, apakah penyebutan ayat KS agama lain oleh orang yang
bukan dari agama tersebut disebut penistaan? Kedua, apakah ucapan itu tidak
enak didengar? Lalu, apakah penyebutan itu menimbulkan noda bagi agama Islam?
Tidak
mudah menjawab persoalan ini, karena masing-masing pihak mempunyai preferensi
sendiri dan mempunyai nilai rasa
masing-masing. Karena itu, saya hendak melihat persoalan ini dalam konteks film
yang telah dijelaskan di atas.
Pertama-tama,
ucapan Ahok di Kepulauan Seribu dengan menyentil salah satu ayat Al Quran,
hemat saya, adalah sebuah kelancangan karena Ahok bukanlah pemeluk agama Islam.
Meskipun mungkin dia mengetahui pesan dan makna dari isi ayat tersebut, penyebutan
itu sebuah pengambilalihan peran pemuka-pemuka agama Islam. Kedua, pernyataan
itu mempunyai nuansa politis karena berdekatan dengan momen Pilkada. Karena
itu, tak akan heran jika orang-orang tertentu (terutama FPI) dan mungkin
dibackingi oleh lawan-lawan politik Ahok memanfaatkan momentum tersebut untuk
menyerang Ahok dengan dalil penodaan agama atau membela Tuhan.
Lalu,
apakah dengan ucapan itu, Ahok dapat dikatakan menista agama Islam.
Persoalannya tidak sesederhana itu. Ahok memang dapat dikatakan lancang, tapi
sangat berlebihan bila ia disebut menista agama. Karena, saya kira, ayat-ayat
suci Al Quran tidak akan berkurang kekudusannya hanya karena ucapan seorang
Ahok.
Lagipula,
bila ditelusuri rekam jejaknya, Ahok jauh dari tindakan semacam itu. Sejak
kecil ia sudah berada di lingkungan Muslim, dan sejauh itu tak pernah ditemui
ucapan atau tindakan yang menghina agama Islam. Kalau ada ucapannya yang
menurut orang tertentu jauh dari kesantunan sebagai orang Timur, itu masih
dapat ditolerir karena fakta menunjukkan tindakannya dan kebijaakannya lebih banyak mendatangkan
kebaikan bagi masyarakat. Apalagi kalau dibandingkan dengan koruptor-koruptor
yang selama ini berkata sopan santun.
Karena
itu, bagi saya, ini hanya persoalan miskomunikasi. Strategi komunikasi politik Ahok
adalah blunder yang coba dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak ingin Ahok
kembali memimpin Jakarta. Ibarat seorang bek yang hendak melakukan clearance namun kurang bersih sehingga kemudian
dimanfaatkan oleh penyerang lawan untuk mencetak gol. Ucapan itu mungkin benar,
tapi disampaikan oleh orang yang kurang tepat dan pada momen yang juga kurang
tepat.
Di
samping itu, pihak lawan terlalu melebih-lebihkan pernyataan Ahok tentang ayat
Al Maidah 51 seolah-olah merendahkan ayat suci tersebut. Bisa dikatakan mereka
sedang membela Tuhan mereka dengan menyalahkan pihak (agama) lain? Maka
pernyataan PK kepada Tapasswi dapat dikutip di sini: “Kau duduk di dunia kecil
ini, tempat kecil ini, di jalan kecil ini, lalu kau bilang akan membela Tuhan
pencipta semesta alam? Tuhan tak butuh perlindunganmu. Dia bisa melindungi
dirinya sendiri.” Masih menurut PK, "ini salah sambung yang berbahaya".
Dalam
film PK, miskomunikasi itu akhirnya berhasil diterangkan oleh PK dan Jaggu bisa bersama lagi dengan kekasihnya Sarfaraz. Kita berharap, para hakim dapat
menjadi PK yang mampu menunjukkan miskomunikasi dalam kasus penistaan agama
sehingga kebenaran dapat menunjukan wajahnya dan kita dapat merajut kembali
rasa persaudaraan sebagai sesama makhluk yang diciptakan oleh Tuhan yang satu
dan bukan Tuhan yang kita ciptakan sendiri untuk kemudian kita bela secara serampangan demi memenuhi ambisi pribadi kita.


0 komentar