EINSTEIN, WAKTU DAN KITA

(Refleksi Akhir Tahun)


Yang tinggal di belakang kita adalah masa lalu. Di depan kita ada masa depan.  Dan sekarang adalah yang sedang kita jalani.

Dua abad sebelum Einstein, ahli matematika Jerman, Leibnitz mengatakan bahwa ruang adalah tatanan atau hubungan di antara benda-benda. Tanpa ada benda-benda yang menempatinya tiada apapun. Mengikuti penalaran yang sama, Einstein maju dengan konsep yang memporakporandakan waktu mutlak –dari suatu aliran waktu alam semesta yang tak dapat ditawar-tawar, tak beragam, tetap, mengalir dari masa silam tak terbatas hingga ke masa depan tak terhingga. Menurut Einstein, seperti ruamg merupakan kemungkinan tatanan benda, maka waktu merupakan kemungkinan tatanan peristiwa. Relativitas waktu menjelaskan tak ada interval waktu yang tetap bebas dari sistem acuannya. Tak ada sesuatu yang terjadi serempak, tak ada sesuatu yang “sekarang” terbebas dari sistem acuannya. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai teori agung yang rumit tersebut. Hanya mencoba menemukan apa yang dapat kita petik darinya.

Menurut teori relativitas, waktu adalah sesuatu yang relatif. Pengertian tentang waktu serupa pengertian tentang warna dan merupakan bentuk persepsi. Sebagaimana tak ada warna tanpa ada mata yang membedakannya, demikian pula sesaat, sejam atau sehari tanpa suatu peristiwa yang menandainya. Karena itu waktu adalah sesuatu yang relatif (subyektif).

Berhubungan dengan waktu yang subjektif ini Einstein sendiri menjelaskan, “Pengalaman-pengalaman individu yang tampak pada kita tersusun di dalam suatu deretan peristiwa; di dalam deretan ini peristiwa-peristiwa tunggal yang kita ingat tampak tertata menurut kriteria ‘awal’ dan ‘belakangan’. Karenanya ada bagi individu waktu ‘saya’ atau waktu subyektif. Waktu adalah tak terukur. Sesungguhnya saya dapat menghubungkan bilangan-bilangan dengan peristiwa-peristiwa tersebut sedemikian sehingga bilangan-bilangan yang lebih besar berkaitan dengan peristiwa belakangan daripada dengan yang lebih awal. Hubungan ini dapat saya definisikan dengan sebuah jam dinding. Membandingkan tatanan peristiwa yang dilengkapi jam dinding dengan tatanan peristiwa yang diketahui. Kita memahami sesuatu dengan jam sehingga memberikan suatu deretan peristiwa yang dapat dihitung.”

Jadi  waktu disandarkan pada suatu konsep objektif yaitu peristiwa atau pengalaman kita. Tetapi interval waktu yang diberikan oleh jam maupun kalender bukan besaran mutlak yang menentukan seluruh alam semesta. Semua jam yang pernah digunakan manusia terkait pada sistem tata surya kita.
Apa yang kita sebut satu jam sebenarnya adalah pengukuran dalam ruang -150 busur rotasi harian bumi. Dan apa yang kita sebut setahun hanya lama waktu pengukuran bumi dalam orbitnya mengelilingi matahari. Namun penghuni planet Merkurius melakukan orbitnya matahari selama 88 hari kita, dan pada waktu yang sama sekali berotasi pada porosnya. Oleh karena itu, di planet Merkurius setahun sama dengan sehari.

Sebentar lagi kita akan mengakhiri tahun 2013. Banyak peristiwa yang telah kita alami dan lihat sepanjang tahun ini. Untuk menyebut beberapa yang hangat dalam ingatan; pemilihan gubernur yang menguras emosi dan biaya yang tidak sedikit, pilkada Sumba Barat Daya yang berdarah-darah, hiruk pikuk Sail Komodo, kasus Wilfrida Soik serta pembunuhan dan perselingkuhan yang seolah tak pernah jemu menghiasi harian surat kabar kita. Sesungguhnya peristiwa dan pengalaman itulah yang telah menandai tahun 2013 kita. Bila sebentar lagi kita menyambut tahun yang baru, apakah yang mesti kita rayakan?

Mungkin kita memang perlu belajar dari Einstein. Bahwasanya deretan peristiwa yang telah kita hitung dengan jam dan kalender mengandung pelajaran yang harus kita petik dan maknai dalam perjalanan kita selanjutnya agar kita semua dapat begerak menuju suatu kehidupan yang lebih bernilai dan bermutu. Untuk itu, kita butuh lebih dari perayaan dengan bunyi semarak petasan dan kembang api. Mata batin dan pikir kita hendaknya lebih tajam untuk melihat dan memikirkan sampai ke detil-detil yang paling dalam dari kehidupan kita dan menjalankannya dengan hati. Agar seperti Einstein sendiri, dalam kerja ilmu pengetahuannya menyadari Kemahakuasaan Tuhan, sesuatu yang ia sebut Supreme Intelligence, kitapun mampu menyadari kehadiran Tuhan dalam apa yang menjadi pekerjaan kita.

Oleh Eman Nara Sura



You Might Also Like

1 komentar