Dongeng, Buku, dan Imajinasi
“If you want
your children to be intelligent, read them fairy tales.
If you want them to be more intelligent,
read them more fairy tales.”
ALBERT EINSTEIN
Dongeng mungkin telah menjadi fosil yang terpaksa
masuk museum karena perkembangan teknologi yang kian pesat. Kehadiran
smartphone (telepon pintar) yang menyatukan teknologi komunikasi dan informasi
dalam satu device yang relatif kecil
sehingga mudah dibawa ke mana saja sedikit banyak telah merubah kebisaan kita
sehari-hari.
Di satu sisi, kehadiran media tersebut membantu
manusia dalam banyak hal. Entah itu untuk berkomunikasi atau mengakses
informasi. Karena di dalam satu perangkat kecil saja (smartphone), dunia
dikonsentrasikan. Berbagai kejadian di belahan dunia yang satu bisa langsung
diketahui di belahan dunia lainnya. Berbagai aplikasi menarik yang dibuat di
satu tempat yang jauh, bisa diunduh dan digunakan oleh orang-orang di pelosok
manapun. Dengan lain perkataan, jarak telah diruntuhkan, dan kita berada dalam
satu pusaran gelombang teknologi yang bisa membawa kita ke mana saja. Namun di
sisi lain, media tersebut telah menciptakan jarak antar pribadi yang berdekatan secara
fisik. Semakin jarang diskusi antar anggota rumah tangga, antar orang tua dan
anak, antar suami dan istri dsb karena orang lebih suka berinteraksi dengan
smartphone ketimbang berinterkasi dengan sesama anggota keluarga.
Dulu kita sering mendengar cerita dongeng sebelum
tidur dari bapak atau mama. Dongeng, entah apapun macam dan ragamnya menghiasi
fantasi kita dan merangsang imajinasi kita. Namun sekarang, mungkin hanya
segelintir anak-anak kita yang masih mengalami saat-saat klasik tersebut.
Itupun kalau orang tua mereka masih
memandang penting dan perlu menceritakan kisah antah berantah kepada
anak-anaknya.
Dongeng telah terpinggirkan oleh kehadiran
teknologi. Anak-anak lebih nyaman berlama-lama menatap smartphone kecil di
tangan mereka, atau menatap layar videogame ketimbang membaca buku-buku atau
menyimak cerita orang tua. Peran orang tua sedikit banyak telah digantikan oleh
kehadiran media teknologi tersebut.
Menyimak quote di awal tulisan ini, kita mungkin
harus berpikir ulang bagaimana membantu anak-anak kita memasuki dunia yang
terus berkembang ini. Bagi seorang Einstein, dongeng bukan sekedar cerita
pengantar tidur. Dongeng baginya memiliki peran strategis sebagai pemantik daya
imajinasi anak-anak. Selain itu, bagi Efnie Indrianie, M.Psi, mendongeng lebih
berfungsi untuk meningkatkan kedekatan ibu dan anak, dan mengembangkan kemampuan
otak anak dan mengoptimalkan perkembangan psikologis dan kecerdasan emosional.
Kalau memang itu yang terjadi maka dapat kita katakan bahwa tema tentang
revolusi mental yang digagas kembali oleh Presiden RI Joko Widodo harus juga
dimulai oleh orang tua kita dengan menghidupkan kembali kebiasaan mendongeng.
Karena dari sana akan muncul bibit-bibit baru manusia Indonesia yang tidak saja
cerdas, namun juga berkarakter.
***
Dongeng merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari
pemikiran seseorang yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Dalam ensiklopedia, dongeng memiliki pengertian cerita singkat
tentang hal-hal aneh dan tidak masuk akal, berbagai keajaiban dan kesaktian
yang biasanya mengisahkan dewa, raja, pangeran, dan putri.
Saat lahir, otak memiliki satu triliun sel otak.
Tidak lama setelah kelahiran otak bayi menghasilkan bertriliun-triliun
sambungan (sinapsis) antar neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan
(sinanpsis) ini terbentuk dari informasi yang ia peroleh lewat panca inderanya.
Di dalam otak anak, terdapat tonjolan bernama girus yang berfungsi merekam
kode-kode informasi. Semakin banyak informasi, pembelajaran dan simulasi yang
diberikan kepada anak maka semakin banyak terbentuk girus. Menurut pakar psikolog
anak, Seto Mulyadi, anak dapat dirangsang untuk mengembangkan daya imajinasinya
dengan mendengarkan dongeng dari orang tuanya. Misalnya dari dongeng yang
didengar, anak akan membayangkan pangeran yang gagah dan peri yang cantik,
seekor kancil yang cerdik, atau seekor lebai yang malang.
Buku Harry Potter yang sangat masyur itu dalam
konteks tertentu adalah dongeng. Bukan saja karena peri dan makhluk-makhluk
anehnya, tapi juga karena dunia sihirnya yang sulit dimengerti secara akal
sehat. Bagi anak-anak, semua itu membangkitkan gairah tersendiri dan juga
merangsang imajinasi mereka. Dalam bukunya, sains Harry Potter, Roger Highfield
mengungkapkan bahwa novel Harry Potter telah menyulut rasa ingin tahu para
peneliti. Gagasan tentang sapu terbang, kacang aneka rasa, dan tongkat ajaib,
membantu para ilmuwan mengeksploarsi lebih jauh tentang gravitasi, biologi
molekuler, dan teleportasi. Dengannya sihir mendapat penjelasannya secara
ilmiah. Atau dalam bahasanya, sains telah membantu kita menyusuri lorong-lorong
gelap dunia sihir.
Atau dalam serial Stars Trek yang juga mendapat
pengakuan luas sebagai salah satu daya imajinasi yang berhasil menggugah para
ilmuwan untuk menjelajahi universe (multiverse). Meski kelihatan gila, aneh,
dan di luar akal sehat, para ahli pada akhirnya harus mengakui bahwa ide-ide
gila itulah yang merangsang penelitian-penelitian mereka untuk membuktikan
ide-ide tersebut. Dalam bagian terakhir film Theory of Everything, ketika
Hawking ditanya soal filosofi yang melandasi kerja ilmiahnya, ia berujar: Jika
tak ada batas di alam semesta, harusnya tak ada batas juga bagi usaha manusia.
Di mana ada kehidupan, di situ ada harapan.
Contoh-contoh di atas sebenarnya mau menunjukan
bahwa dongeng, buku dan imajinasi memegang peranan penting bagi perkembangan
hidup manusia yang pada akhirnya memberi andil pada perkembangan teknologi yang
sekarang sedang kita alami dan akan terus berkembang. Karena itu, sangat
penting menumbuhkan imajinasi anak-anak kita dengan dongeng dari koleksi pribadi atau dari buku-buku. Di
dalam dongeng, anak mendapat kesempatan memperhalus panca indera mereka. Lalu, imajinasi
mereka tumbuh dan berkembang berdasarkan gambaran yang kita berikan dalam
dongeng dan pengalaman yang mereka alami. Selain sebagai perangsang daya
imajinasi, dongeng juga mengasah kecerdasan emosi dan spiritual melalui
kisah-kisah kepahlawanan yang mengagumkan.
Ketika memasuki dunia sekolah, imajinasi itu perlu
dipelihara melalui bacaan-bacaan yang berkualitas. Dalam konteks ini,
kisah-kisah sejenis Harry Potter harus mendapat tempat. Hal-hal yang kelihatan
bersifat sihir, magic atau yang tidak
masuk akal untuk saat sekarang bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan di
waktu yang akan datang. Sehingga kita tidak saja menjadi konsumen atas
produk-produk teknologi tetapi menjadi aktor yang membuat kemajuan teknologi
tersebut.
Pertanyaannya, apakah para orang tua peduli pada perkembangan
otak anak-anak mereka dengan (salah satu caranya) menceritakan kisah-kisah dari
negeri dongeng, dan sejauh mana pemerintah dan sekolah telah merawat imajinasi
peserta didik lewat buku-buku yang berkualitas? (*)



0 komentar